Disadari atau tidak awal kita menulis pasti 'canggung dengan frasa kata'. Kalimat penghubung dan lain lain. Terlebih lagi menulis dalam artikel ilmiah memerlukan bahasa yang sangat baik dan dimengerti banyak orang (pinsipnya setiap kalimat harus menjawab 5W+1H). Susah ya..? Saran saya dicoba saja, kalau sidah terbiasa membaca itu akan jadi hal biasa biasa lama kelamaan akan jadi budaya menulis yang baik dan benar.
Kadangkala kita juga luput antara Judul, Abstract, Isi dan Simpulan berbeda dan bahkan cenderung Strong Statement. Nah bagaimana sih cara menulis benernya?. Caranya ikuti format IMRADc (Introduction, Method, Research Literature, Theotical, Acknowledgment, Discussion and Conclusion). Jadi Prinsip penulisan ilmiah harus memenuhi IMRADc.
Nah kalau anggaplah dah paham, banyak juga yang membahas IMRADc. Jika sudah banyak kuantitas dibuat dan menjadi budaya maka pergeseran nilai terjadi. Begini ceritanya:
Pertama, kita diminta hanya aktif saja menulis, bagus tidaknya artikel kita adalah berdasarkan penilaian orang lain. Kita hanya mengejar kuantiti, masa iya dosen lebih dari 360 ribu orang gak ada karya sama sekali, atau hanya orang yang itu-itu saja yang muncul dalam beberapa publikasi. Pasti ada yang salah dalam penerapan pembelajaran sebelum ini. Mungkin awalnya hanya senang mengajar saja, melakukan pengabdian saja atau ikut-ikutan acara seminar saja. Namun hasilnya luaran penelitian kurang.
Boleh jadi ga ada pemicu-nya, padahal regulasinya jelas sekali. Itu merupakan suatu kewajiban dalam Tri Dharma Pendidikan Tinggi.
Nah tahun 2017-2018 banyak kita lihat karya dosen dan mahasiswa yang dipublikasikan. Ketika kuantitas sudah ada maka kita wajib meningkatkan kearah kualitas. Kualitas itu banyak juga sudut pandangnya, kualitas risetnya, kualitas bahasa, kualitas jurnal yang semuanya akan berdampak kepada siapa pembacanya (viewer).
Jika saja kita telah menerapkan sejak awal kesemua syarat kualitas, sudah pasti banyak pembaca, baik dari rekan internal, mahasiswa, dan peneliti lain dalam dan luar negeri yang akan menjadikan rujukan. Nah karena menulis yang universal adalah umumnya menggunakan bahasa Inggris, maka disarankan menulislah dalam bahasa inggris agar penulis luar negara juga mengerti apa kajian kita. Namun bukan berarti tidak menulis dalam bahasa sendiri ya.. itu bergantung Jurnal juga bahasa apa yang boleh digunakan.
Sebetulnya hasil penelitian di Indonesia banyak yang bagus, tapi karena terbatas dilingkungan dalam sehingga tidak dijadikan rujukan oleh peneliti luar. Hal lain juga, jangan memaksakan sitasi, apapun bentuk sitasinya. Ingat, institusi pendidikan tinggi atas nama siapapun tidak boleh memerintahkan penulis (dosen/mahasiswa) untuk melakukan sitasi. Kalau ada yang semacam ini, dan ada bukti tertulis maka silahkan laporkan ke dikti saja. Ini jelas etika yang tidak baik dalam akademis. Karena belum tentu kajiannya sama dan sesuai dengan apa yang dia lakukan.
Walaupun saat ini jumlah cite dijadikan ukuran klasterisasi, tapi bapak/ibu semua tetap harus eksis saja menulis. Sangat tidak mungkin mendapat cite dalam waktu cepat, dan jangan juga mengakal-akali. Yakinkan diri bahwa tulisan kita memang berkualitas dan mendapat perhatian peneliti lain di dunia akademik. Itu saja..Wong Gusti Allah mboten Sare.. kalau kita nulis bener dan sesuai nborma akademik, pasti ada goal yang diperoleh.
Bagaimana caranya naikkan cite?
Ikutilah kegiatan conference dan banyak bersilaturahiim dalam menyampaikan informasi atas karya kita. Sebarkan ide dan gagasan keilmuan dengan seluruh kekuatan dan yakinkan bahwa KITA BEDA tapi KITA SAMA. Beda dalam 'rasa' (method-nya, teori nya, isu-nya, wilayahnya dll) sama dalam 'asa' (. Jika bagus, yakinlah tanpa kita sadari mereka akan melihat dan memperhatikan karya kita.
Isu-isu yang diperlukan peneliti dan kesesuaian bidang kajian atau lintas bidang sangat mungkin terjadi. Karena pada dasarnya Ilmu hanya satu sumber. Tapi karena manusia membeda-bedakan keilmuan, maka terjadilah warna berbeda dalam akademik.
Jadi...Banyaklah menulis dalam karya dan berkolaborasi bidang keilmuan. Yakinlah bahwa riset anda akan lebih sempurna jika mendapat sudut pandang berbeda dari rekan lainnya.
Setelah bahnyak karya, maka Kemristekdikti melakukan penilaian atas karya dosen melalui SKOR SINTARISTEKDIKTI. Bagaimana cara menghitungnya?
Menurut sumber dikti yang sebetulnya dapat anda lihat juga bahwa skor terdiri dari komponen perhitungan dan formula perhitungan Sinta Score untuk Dosen/Peneliti. (silahkan Klik pastinya informasi sumber)
Komponen Penilaian | Kode | Bobot Penilaian (bukan persentase) |
---|---|---|
Jumlah Dokumen Artikel di Scopus | A | 40 |
Jumlah Dokumen Non-Artikel di Scopus | B | 15 |
Jumlah Sitasi di Google Scholar | C | 1 |
Jumlah Sitasi di Scopus | D | 4 |
Tabel diatas adalah mengacu informasi dikti (klik disini). Sehingga Formula Sinta Score: ((Ax40)+(Bx15)+(Cx1)+(Dx4)) / Pembagi
Pembagi adalah sebuah angka hasil dari perhitungan statistik yang mempertimbangkan maksimum Sinta Score Personal/Dosen/Peneliti Tertinggi. ( Nah ini kalimatnya ga jelas tertinggi dimana? dikampusnya atau di Indonesia). Saya berhitung juga darimana tepatnya dan yang punya hanya dikti saja, angka pasti skornya. Kita hanya bisa menduga apakah OVERAL SKOR nya 318.43 (sinta yang saya lihat miliki saudara SUHARYO SUMOWIDAGDO dari LIPI.
Contoh anda memiliki 11 Article Jurnal scopus, 0 Prosiding Scopus, 71 Jumlah Sitasi di GS, 18 Jumlah sitasi di Scopus, maka perhitungannya:
((11*40)+(83*15)+(71*1)+(18*4)) /318.43
1829/318.43 maka Score Overal anda adalah 5.74 (mungkjin gini ya)
Nah sebenarnya ini saya buat hanya untuk saling mengingatkan kepada semua dosen di Pendidikan Tinggi agar terus memantau. Saya melihat ada dosen tidak ada scopus, tidak ada cite-nya, atau artikelnya tidak sesuai dengan GS-nya tapi RANKING di SINTA dia lebih tinggi dari yang ada Scopus. Kayaknya pengurus di masing-masing kampus harus menelaah lagi deh....Temuan ini nyata sekali
Salam
Bersatu, Bekerja, Membangun Negeri